Senja Nila
![]() |
Senja (BP2M Irkham) |
Ia seorang yang dilalaikan ibunya. Ipah tak pernah memperhatikannya. Apalagi Ipah tahu bahwa Nila mengalami gangguan pada syaraf otaknya. Perkembangan mental Nila berjalan tak normal. Ipah malu pada orang-orang di sekitarnya. Ipah cemas dicap yang macam-macam. Ipah menjadi risih pada buah hatinya sendiri. Sejak saat itu nenek yang merawatnya. Janda tua yang kesepian itu telah menemukan seseorang yang me-nemaninya di usia uzur.
“Nanananonanona…,” nya-nyian yang tak jelas susunan kalimatnya. Tak jelas ia maksudkan apa.
“Prang..prang..prang..” pukulan nampan itu memecah sepi.
Agaknya suara sumbang dan pukulan nampan Nila itu bagai sebuah penanda bahwa saatnya ia akan mengisi perutnya. Ia tahu tak ada seorang pun kecuali dirinya di rumah itu. Ia berjalan tertatih menuju dapur. Menyeret langkah kakinya yang pengkor. Punggung telunjuknya kembali menjadi korban rasa laparnya. Ia gigiti hingga nampak menghitamkebiruan lebam.
Di dapur.
Di meja makan.
Kembali ke ruang depan.
Ia tak menemukan sesuatu untuk mengganjal perut. Nila terayu langkah kakinya menuju belakang rumah. Tak ia temui juga apa-apa. Hanya segelas air teh basi tergeletak menganga. Menarik perhatian lalat mengitarinya. Satu, dua, tiga teguk ia rengkuh minuman yang telah berasa agak aneh itu. Terkucur deras melewati kerongkongannya yang kering.
Jika senja telah hadir maka itu waktunya nenek tiba. Nila pun kembali mendapatkan kesempatannya bermanja dengan nenek. Saat senja pula Nila menumpahkan kesahnya dalam pelukan nenek. Setelah malam agak matang Nenek akan mengajaknya istirahat di kamar yang sempit dan berwajah remang. Dua manusia itu berbaring bersama. Berebutan menghembuskan nafas. Nenek merapikan kaki Nila. Nenek tak akan berhenti menepuk-nepuk pahanya dengan lembut hingga ia lemah dalam tidurnya. Sesekali Nila mengigau memanggil-manggil seseorang. Bukan nama Ipah, ibunya. Tapi nenek.
Kadang Nila tertawa sendiri tanpa alasan. Kadang bercakap tanpa ada lawan bicara. Memandangi langit di tengah terik. Memukul-mukul nampan yang suaranya akan mengusik telinga. Bernyayi dengan bahasa yang tak bisa dimengerti. Ia memandang sekelilingnya deng-an perhatian yang sederhana. Tak pernah ada ruang dendam dalam hatinya ketika orang-orang yang memandangnya akan menumpuk rasa jijik.
***
Nila tiba-tiba terjingkat dari tidurnya. Keringat dingin meleleh dari keningnya. Nafasnya berhembus panjang pendek tak berirama. Ini malam ketiga ia terbangun di tengah malam.
“Sssstt, tidurlah lagi. Nanti Nila dibawa hantu wewe.” Perkataan Nenek untuk menakut-nakutinya supaya kembali berbaring tidur.
Nila memandang nenek. Ia kembali berbaring. Mata sayunya menatap atap yang terlindung gelap.
“Nila jangan bandel. Ayo matanya ditutup, tidur lagi”
Ia mencoba tidur, menutup mata kembali. Sia-sia. Nila seperti masih mengingat-ingat sesuatu yang dilihatnya di mimpi tadi.
“Nek, ‘aus. Iyah ‘aus, mimik”, ucapnya dengan logat yang tak sempurna.
Nenek tahu maksud ucapan itu. Rambut putih nenek yang terburai terpaksa diikat, mengikuti gerak tubuhnya berjalan beberapa langkah dalam gelap. Menuang segelas air putih. Dengan penglihatan yang telah agak redup air itu dijulurkan pada cucunya. Nila meraihnya dengan tangan kiri. Tangan kanannya tak berfungsi wajar sebagaimana kiri sejak lahir. Hanya bisa mengepal dan melambai-lambai. Setelah menenggak segelas air putih Nila seolah telah melepas sesuatu yang membebani pikirannya. Ia lega.
Malam berikutnya Nila mengalami hal yang sama. Ia ketakutan. Ia terjingkat dari tidur. Didekapnya lengan nenek erat-erat. Seakan tak rela jika nenek beranjak dari sampingnya. Ia menangis tanpa sebab. Wanita tua itu membujuk Nila agar berhenti menangis. Menawarinya air putih seperti biasa jika ia terbangun. Tapi Nila tak mau kalau nenek bangun dan lepas dari tangannya. Seolah ia tak ingin nenek pergi darinya.
***
Nila duduk di beranda rumah neneknya. Sendirian. Tatapan matanya merayap di awang-awang. Sama halnya dengan kebiasaannya yang telah lalu ketika nenek masih ada di sampingnya. Sekarang Nila sendiri. Nenek meninggalkannya. Nenek pergi ke tempat yang jauh sekali. Ia akan menjemput Nila. Begitu kata nenek suatu kali dalam mimpinya. Tak ada lagi yang menepuk-nepuk paha Nila jika ia susah tidur. Tak ada pula yang menyuguhinya air putih saat ia terbangun di tengah malam buta. Tak ada lengan nenek yang bisa ia peluk saat ia ketakutan pada malam.
Setiap senja Nila akan terduduk lama di rumah nenek. Memegang nampan usangnya. Tak lagi menyanyi dengan bahasanya. Namun, nyanyiannya bernada bisu. Anginlah yang memainkan irama hatinya. Nila mendengarnya bagai simfoni yang terurai menjelang malam. Rupa jalan tersengat sepi. Tatapan Nila kosong pada sebuah gang kecil yang biasa dilalui nenek. Tak seorang datang menemuinya. Nila menanti nenek datang menjemputnya. Ia selalu menanti nenek.
“Prang…prang…prang…” Tabuhan nampannya tak sesema-ngat dulu.
Ipah sudah sedikit membuka pori-pori hatinya menerima Nila. Entah karena benar-benar ia me-nerimanya, atau entah mungkin karena ia khawatir gunjingan te-tangga yang mengolok-oloknya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab.
Nila hanya melihat dunia dua warna, hitam dan putih. Hitam mewakili hal-hal yang ia benci, hal-hal yang membuat dirinya bersedih dan takut. Nila menempatkan Ipah dalam ruang hitamnya. Baginya Ipah selalu membawa kesedihan. Ipah tidak senang jika Nila menabuh nampan kesayangannya. Tak suka jika Nila memandang surya kesukaannya. Tak senang kala Nila menunggui rumah nenek. Menyuruhnya tidur di tikar sendirian. Tak boleh menyanyi-nyanyi. Mencubitinya tanpa alasan yang jelas hingga kulitnya penuh bekas-bekas biru. Ketakutan Nila begitu pekatnya pada Ipah.
***
Nila tak lagi menikmati senjanya. Dibiarkan berlalu begitu saja. Ia lewatkan aromanya yang khas. Cahaya keemasan yang unik telah pudar berganti warna nila. Keadaan telah benar-benar sepi. Bukan sepi yang tiap hari menemani Nila. Tapi sepi yang lain yang ada. Sepi yang sesungguhnya sepi. Bangku di teras rumah nenek sudah tak ada sesosok anak yang menenteng nampan. Di senja itu juga sudah tak ada lagi suara nyaring Nila. Rumah itu kosong menatap sepi. Rumah itu seaakan tak punya daya. Kokohnya hilang. Gang yang biasa dilewati nenek berganti angin yang hembusannya menyeruak memenuhi sepanjang ia berlalu. Nila telah berlalu dari rumah itu. Berlalu dari kehidupan Ipah. Nila tak sabar menunggu sebuah janji yang pernah hadir dalam mimpinya.
Di sebuah senja, Tak ada yang tahu kemana perginya.
Jepara, April 2010
Oleh Wahyu Ameer, lahir di Jepara 24 Juni 1989. Masih kuliah di Universitas Negeri Semarang, Prodi Sastra Indonesia. Aktif di Komunitas Kalimasada Semarang.
0 Response to "Senja Nila"
Posting Komentar